Friday, April 13, 2007

Temuan Kerangka Manusia di Bukit Kerang Aceh Seperti Bayi Di Kandungan

Jum'at, 13 April 2007 | 00:50 WIB

TEMPO Interaktif, Jakarta:
Arkeolog menyatakan bahwa posisi kerangka manusia yang terlipat di situs-situs bukit kerang berhubungan dengan kepercayaan tentang kehidupan setelah kematian. "Mereka melipat jenazah sama seperti mengembalikan manusia ke dalam kandungan, hidup lagi," kata Lukas Partanda Koestoro, Kepala Balai Arkeologi Medan kepada Tempo pada selasa lalu.

Penguburan jenazah berlipat seperti itu ditemukan oleh arkeolog dari Medan di situs Bukit Kerang Pangkalan di Aceh Tamiang, pada awal April lalu. Selain kerangka manusia, mereka juga menemukan peralatan batu, gerabah, dan tulang.

Harry Truman Simanjuntak, peneliti di Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, mengatakan penguburan seperti itu adalah tren pada masa Holosen di Asia Tenggara. Pola itu tersebar mulai dari Semenanjung Malaysia sampai ke Pulau Jawa Indonesia.

Di situs Gua Cha, Kelantan, Malaysia, yang diperkirakan berusia 10 ribu tahun BP, ditemukan kerangka seorang pemuda yang terlipat berbantalkan lempengan. Demikian pula di Niah, Malaysia, Gua Kepah, Pulau Penang, dan situs Gua Duyong di Pulau Palawan, Filipina Selatan.

Di Indonesia, selain di Aceh Tamiang, model semacam itu ditemukan pula di situs Gua Lawa, Sampung, Jawa Timur. Kerangka-kerangka itu ditemukan dengan posisi tangan terlipat ke bawah dagu atau menutup mata.

Di Gua Batu Buli, Desa Randu, Muarauya, Tabalong, Kalimantan Selatan, tujuh tahun lalu ditemukan kerangka manusia yang diperkirakan dari masa 7.000-10.000 tahun BP. Kerangka itu dalam posisi kepala menengadah dan kaki terlipat serta telapak tangan menyentuh pergelangan kaki atau menyilang di pinggul.

Kerangka-kerangka itu umumnya ditemukan bersama bubuk oker (bijih besi/hematit yang bercampur dengan tanah liat dan pasir berwarna kekuningan, jingga/kemerahan dan coklat). Posisi kerangka berlipat bak bayi dalam kandungan.

DEDDY SINAGA | HAMBALI BATUBARA

Dapur Kerang Tersebar Sampai Eropa

Jum'at, 13 April 2007 | 00:29 WIB

TEMPO Interaktif, Jakarta:
Harry Truman Simanjuntak dari Pusat Penelitian Arkeologi Nasional mengatakan situs bukit kerang terjadi oleh buah karya manusia (bukan terbentuk alami). “Lantaran ditemukan pula artefak dan ekofak di dalamnya,” kata dia kepada Tempo kemarin.

Artefak dan ekofak itu antara lain berbagai peralatan manusia dari batu, gerabah, dan tulang. Selain itu juga ditemukan bekas permukiman dan tulang belulang manusia.

Bukit kerang adalah nama pemberian masyarakat yang tinggal di sekitar situs. Para Arkeolog umumnya menyebut bukit itu dengan istilah kjokken moddingger atau kitchen midden (dapur tempat pembuangan sampah hasil konsumsi manusia tiap-tiap hari).

Bukit seperti itu tak hanya ditemukan tersebar di Asia Tengah (Vietnam dan Cina) ke Asia Tenggara (Thailand, Malaysia, dan Indonesia), tapi juga ada di Eropa (Swedia dan Denmark).

Di Indonesia, tinggi bukit kerang diperkirakan mencapai 26 sampai 27 meter: empat sampai lima meter menyembul di permukaan tanah, sisanya ada di bawah tanah. Kerang-kerang yang menumpuk itu berasal dari kelas gastropoda (umumnya spesies Thiaridae) dan pelecypoda (umumnya Corbiculidae).

DEDDY SINAGA

Manusia dari Bukit Kerang

Jum'at, 13 April 2007 | 00:41 WIB

TEMPO Interaktif, Medan:
Sehamparan sawah itu tak lagi terawat setelah banjir menghantamnya pada akhir tahun lalu. Pematangnya sudah dikepung rerumputan liar. Tak jauh dari sana, sebuah bukit memanjang dari utara ke selatan.

Bukit yang ada di Kampung Pangkalan, Aceh Tamiang, Nanggroe Aceh Darussalam itu, disebut bukit kerang. Bukit itu memang terbentuk dari sisa-sisa cangkang yang menggunduk, bercampur dengan tanah dan bebatuan.

Untuk mencapai bukit dibutuhkan perjalanan panjang. Dari Sungai Liput, 180 kilometer dari Kota Medan, Sumatra Utara, perjalanan dilanjutkan dengan sepeda motor menuju sebuah perkebunan di Simpang Semadam sejauh 5 kilometer. Setelah itu perjalanan dilanjutkan dengan berjalan kaki sejauh empat kilometer.

Ke sanalah sejumlah arkeolog dari Balai Arkeologi Medan dan mahasiswa antropologi dari Universitas Malikulsaleh, Lhokseumawe, melakukan penggalian pada akhir Maret lalu. Di bukit angker—menurut warga setempat—itu mereka menemukan tiga kerangka manusia.

Ketut Wiradyana, pemimpin penggalian, mengatakan penggalian pertama pada 1998 dilakukan di bukit itu berdasarkan informasi penggali kapur yang kerap menemukan tulang belulang manusia. Pada penggalian di empat titik mereka menemukan gerabah (peralatan terbuat dari tanah liat), alat batu, dan kerangka manusia.

Kerangka manusia itu berada dalam posisi terlipat. Tangannya ditekuk dan telapaknya ada di dahi. Kakinya juga ditekuk dengan lutut di depan perut. Posisi ini, menurut Ketut persis seperti bayi dalam kandungan.

"Karena kondisi (Aceh) yang tidak kondusif, penelitian ditinggalkan sementara dan beralih ke Nias," kata Ketut kepada Tempo di Balai Arkeologi Medan, pada selasa lalu.

Lalu pada 27 Maret sampai 3 April lalu arkeolog itu kembali ke Tamiang. Selain peralatan batu dan gerabah yang sama dengan penggalian sebelumnya, mereka juga menemukan tiga tengkorak manusia di kedalaman 50 sentimeter. Salah satunya masih menyisakan tulang lengan yang tertekuk.

Setelah dibandingkan dengan situs serupa di Hinai, Langkat, tim itu lalu memperkirakan peninggalan arkeologis itu berasal dari masa 5.000 sampai 7.000 tahun Before Present (penanggalan berdasarkan perhitungan radiokarbon). Ini tergolong pada masa Holosen berdasarkan pembabakan geologis.

Untuk memastikan lebih lanjut, mereka telah meminta bantuan Institut Penelitian untuk Pembangunan (Institut de recherche paur le developpement) dari Prancis.

Ketut mengatakan ada kesamaan antara temuan kerangka tahun 1998 dan yang terbaru: sama-sama berorientasi ke selatan. Dia menduga itu ada kaitannya dengan kepercayaan masyarakat Tamiang bahwa arah Utara-Selatan bukanlah arah kehidupan, sebagaimana Timur-Barat. "Jadi ada kesinambungan konsep religi dengan masyarakat Tamiang sekarang," katanya.

Arkeolog itu juga menemukan tanda hematit (tanda merah atau coklat yang dibuat dari batuan lembek) di tengkorak-tengkorak itu.

Lukas Partanda Koestoro, Kepala Balai Arkeologi Medan, mengatakan situs-situs bukit kerang adalah hal yang jamak di pesisir timur pulau Sumatra. Menurutnya situs semacam itu mencirikan kebudayaan Hoabinhian dari daerah Hoabinh di Vietnam.

Ciri kebudayaan itu adalah masyarakatnya hidup dari kerang-kerangan dan menggunakan alat batu yang khas yakni batu lonjong monofasial (dipahat satu sisi) yang disebut Sumatralith. Ciri lainnya; mereka telah mendirikan rumah panggung.

"Ada asumsi manusia berimigrasi dari Hoabinh ke kepulauan di Asia Tengara termasuk Sumatra," katanya.

Hal ini dibenarkan Harry Truman Simanjuntak, peneliti dari Pusat Penelitian Arkeologi Nasional. Menurutnya, manusia pendukung kebudayaan Hoabinhian mengembara dari utara dan tiba di Pulau Sumatra pada era Holosen (berlangsung mulai 11.000 tahun BP).

Adapun penguburan dengan jenazah berlipat itu, “Adalah mode pada masa Holosen di Asia Tenggara,” katanya kepada Tempo kemarin.

Praktek penguburan semacam itu berkembang sampai ke timur Indonesia. Ini ada kaitannya dengan manusia yang mendiami kawasan Asia Tenggara pada masa itu, yakni ras Austromelanesid. Ras ini berkembang sampai ke manusia Papua dan sebagian wilayah timur Indonesia pada saat ini.

Tapi kebudayaan itu, kata Harry, hanya tersebar sampai di pesisir timur Sumatra saja. “Berdasarkan pengujian, mereka tak sampai ke Pulau Jawa,” katanya.

Terhentinya penyebaran itu, menurut Harry, diduga akibat terganggunya ketersediaan sumber daya laut sehingga mengganggu kelangsungan hidup mereka. “Yang bertahan dan berkembang di Indonesia justru pendukung kebudayaan serpih,” katanya.

DEDDY SINAGA | HAMBALI BATUBARA | SANGKHAKALA | WIKIPEDIA

Thursday, April 12, 2007

Sekeping Potongan Sejarah Nias pada Abad ke-9 M

Dalam upaya mengumpulkan artikel-artikel yang berhubungan dengan sejarah Muslim Nias, akhirnya kami menemukan tulisan sdr. Julkifli Marbun berikut ini di salah satu blog bernama Humbang Hasundutan.

Blog HUMBAHAS yang menyebut blog-nya sebagai Pusat Data dan Informasi tersebut menurut pandangan kami cukup lengkap dan patut menjadi salah satu referensi atau pustaka online sejarah suku-suku di Sumatera Utara.

Sejarah Nias di Abad ke-9 M
By. Julkifli Marbun

Sejarah Nias belakangan ini sangat jarang ditemukan apalagi tentang hubungannya dengan peradaban Batak. Walau begitu, banyak orang yang yakin dengan kedekatan kedua sub-bangsa ini, apalagi keduanya sama-sama memiliki sistem masyarakat yang bermarga.

Namun, bila kita cermati dengan teliti, ternyata hubungan sosial antara Nias dan Batak begitu sangat dekat. Berbagai sumber sejarah pernah menuliskannya bahkan menggambarkan dengan jelas hubungan antar keduanya.

Sumber Arab, Ahbar as-Shin wa al-Hind, yang diterjemahkan menjadi Relation de la Chines et de l'Inde, yang dikarang pada tahun 851 oleh para ilmuwan Arab, mengatakan bahwa;

“Di laut itu apabila kita berayar ke Ceylon ada pulau-pulau yang tidak banyak jumlahnya, tetapi besar-besar; tak ada keterangan lebih lanjut mengenai pulau-pulau itu; di antaranya ada sebuah yang dinamakan Lambri yang mempunyai beberapa raja, luasnya 8 atau 900 parasangers (persegi). Emasnya banyak dan ada suatu tempat yang dinamakan Fantsur (Barus) yang menghasilkan banyak kamper yang bermutu baik. Pulau-pulau tadi menguasai pulau-pulau lain di sekiranya, ada satu yang namanya Niyan (Nias).

Emas di pulau-pulau itu banyak. Makananya kelapa yang dipakai sebagai penyedap dan sebagai salep. Kalau ada yang mau kawin, ia tidak dapat mempersunting perempuan sebelum memperlihatkan tengkorak salah seorang musuh mereka; kalau dua orang yang dibunuhnya, yang diperistrinya dua perempuan; begitu pula jika 50 orang yang dibunuhnya, diperistri 50 perempuan untuk 50 tengkorak. Sebabnya ialah karena musuh mereka banyak sekali; maka makin berani orang membunuh, makin ia digemari.” (Lihat terjemahan J. Sauvaget, Paris Les Belles Lettres, 1948, hlm. 4, paragraf 6a)

Di sini sangat jelas disebutkan nama Nias. Orang Arab saat itu mengenalnya dengan nama Niyan. Niyan atau Nias seperti yang disebutkan tersebut tunduk pada kekuasaan Fantsour atau Kesultanan Barus saat itu.

Keberadaan orang-orang Nias banyak ditulis dalam sejarah perdagangan di pesisir Batak, Barus maupun Sibolga. Orang-orang Batak banyak yang melakukan perdagangan ke Nias dan begitu juga sebaliknya.

Dari sisi politik formal, Nias masuk dalam Kesultanan Barus saat itu. Hal itu terlihat dari isi Konstitusi Dinasti Pardosi yang mengatakan bahwa Sultan lah yang memiliki pulau dan daratan. Lihat Fasal Jabatan Raja Dalam Negeri, yang isinya adalah:

1. Merintahkan kepada penghulunya dan kepada segala penghulu yang takluk kepadanya
2. Menurun dan Menaikkan orang yang berjabatan pekerjaan raja.
3. Memberi aturan dalam negeri atas kebaikan dan selamatan negeri.
4. mempunyai tanah kebesaran dan tanah kosong yang pada barang yang orang punyai tidak lagi.
5. Nan punya rombo.
6. Nan punya Laut.
7. Nan punya Sungai.
8. Nan punya Pulau.

Posisi Nias dengan tanah Batak, khususnya Kesultanan Barus, seperti di atas tampaknya bertahan sampai abad ke-17 M. Hal itu diperkuat oleh penjelasan orang-orang Belanda yang terselip mengenai hubungan dagang antara kedua negara; Belanda yang diwakili dengan VOC dengan Kesultanan Barus.

Pada tahun 1668 M, orang-orang Belanda mengurus izin berdagang ke pemerintahan Kesultanan Barus. Orang-orang Belanda ingin melakukan transaksi perdagangan di pelabuhan-pelabuhan Barus yang kaya dengan komoditas-komoditas yang sangat dibutuhkan dunia saat itu.

Pada saat itu terdapat beberapa perusahaan dagang asing yang terlibat dalam kegiatan ekonomi di Barus. Di antaranya yang terbesar adalah perusahaan dagang yang dimiliki orang Aceh dan juga perusahaan-perusahaan yang dipunyai oleh orang Cina dan warung-warung (toko-toko) mereka yang menyebar sepanjang pantai. Komunitas lainnya adalah komunitas pedagangan pribumi yang pusat-pusat perdagangan mereka tersebar antara Barus dengan pulau-pulau kecil di sekitarnya, di antaranya Nias.

Menurut laporan VOC, semua komunitas ini membentuk ciri khas masing-masing dengan satu pimpinan yang bertanggung jawab kepada Malim Muara (Captain or Chief of the river mouth) sebuah posisi yang dilantik oleh Sultan.

Menurut Kroeskamp, Barus, Singkel dan Nias merupakan wilayah yang menyatu dalam sebuah simbiose (levensgemeenschap) dan perusahan-perusaan VOC menganggapnya sebagai satu kesatuan karena masing-masing mempunyai keterikatan hubungan satu sama lain. Oleh karena itulah, setelah Kesultanan Barus mengeluarkan izin berdagang kepada “PT” VOC (1672), izin tersebut sudah mencakup kebolehan untuk melakukan aktivitas dagang (ekspor impor) di Singkil (1693) dan Nias (1694) (lihat: Corpus Diplomaticum, vol 4, pp 25-54).

Nias dan Perpolitkan Batak


Orang-orang Nias yang ada di Pulau Nias maupun mereka yang berada di ibukota (Barus), memainkan peran yang sangat penting dalam peta politik dalam negeri Kesultanan Barus.

Diyakini pergolakan maupun konstalasi politik saat itu juga dimainkan oleh orang Nias. Termasuk kompetisi perdagangan, perbudakan, perebutan kekuasaan dan peperangan ke negeri-negeri terpencil serta beberapa intrik politik lainnya.
Oleh karena itulah, negara dalam hal ini Kesultanan Barus tidak sungkan-sungkan untuk menetapkan Nias sebagai sebuah suku dan daerah yang menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kesatuan negara yang tidak terpisahkan.

Dalam naskah Barus- yang dijilidkan lalu disimpan di Bagian Naskah Museum Nasional Jakarta dengan no. ML 16. Dalam Katalogus van Ronkel naskah ini yang disebut Bat. Gen. 162, dikatakan berjudul “Asal Toeroenan Radja Barus”. Seksi Jawi pertama berjudul “Sarakatah Surat Catera Asal Keturunan Raja Dalam Negeri Barus- disebutkan bahwa kekuasaan dan pemerintahan Kesultanan Barus mencakup masyarakat yang terdiri dari berbagai bangsa. Di antaranya adalah Bangsa Melayu, Aceh, Rawa, Korinci, Batak Mandahiling, Angkola, Bugis, Jawa, Orang Timur, Hindu (Biasanya berkulit putih), Keling (Tamil) dan Nias. Belum termasuk orang-orang Batak dari dataran tinggi seperti Dairi, Toba, Pasaribu dan orang Batak Silindung.

Semua komunitas-komunitas ini diikat dalam satu kesatuan kewarganegaraan (satulah bangsanya) yang memberi loyalitas dan ketataan kepada kedaulatan Kesultanan Barus yang mencakup beberapa negeri di pesisir Barat Sumatera tersebut.

“Adapun di dalam perintah (kedaulatan dan pemerintahan) Barus itu satulah bangsa orang ada tinggal Melayu, Aceh, Rawa, Korinci (Kerinci), Batak Mandahiling, Angkola, Bugis, Jawa, Orang Timur itu orang semuhanya suda bercampur bagitu juga adatnya dan pakaian, ada juga Hindu, Keling dan Nias.” (Lihat Ibid, Hlm, 32(27)).

Nias Baru Masuki Zaman Megalitik Pada 1600

Kamis, 12 April 2007 | 00:52 WIB

TEMPO Interaktif, Medan:
Penemuan sebuah situs arkeologis di Nias, Sumatera Utara, menyatakan bahwa kawasan itu baru memasuki zaman megalitikum (batu besar) pada tahun 1600. “Daerah lain di Indonesia zaman itu sudah masuk zaman kolonial, sedangkan di Nias memasuki kebudayaan batu," kata Ketut Wiradyana, Peneliti Balai Arkeolaogi Medan kepada Tempo, di kantornya kemarin.

Situs itu adalah Tundrumbaho di Kecamatan Gomo, Nias Selatan. Di sana ditemukan sebuah perkampungan dengan temuan serta berupa alat-alat masak dari gerabah (tanah liat), meja batu, tiang batu, dan belulang binatang. Masyarakat Nias umumnya menganggap nenek moyang mereka berasal dari tempat ini.

Temuan ini diperkirakan berasal dari tahun 1600 Masehi. Penanggalan ini diperkuat pula oleh Lembaga penelitian Prancis, Institut de Recherche Paur le developpement.

Ketut mengatakan, temuan itu membuktikan bahwa kawasan Nias sejak dahulu sudah terisolir. Penemuan benda-benda arkeologis yang ada memperlihatkan tak adanya sentuhan budaya dari luar. Pada masa itu, daerah lain malah sudah menganut agama tertentu.

HAMBALI BATUBARA

Monday, April 9, 2007

Islam Masuk ke Nusantara Saat Rasulullah SAW Masih Hidup

Kebanyakan kita ummat Islam di Indonesia, khususnya yang pernah membaca sejarah masuknya Islam di Nusantara meyakini bahwa Islam masuk ke negeri ini pada abad ke 14 Masehi yang di bawa oleh pedagang dari Gujarat, India.
Tapi tahukah anda bahwa sesungguhnya Islam sudah masuk ke Nusantara pada masa Rasulullah SAW masih hidup.

Kalau demikian, siapa yang mengatakan bahwa Islam masuk Nusantara pada abad ke 14 ? Ini semua tak lain ulah dari orientalis Belanda bernama Snouck Hurgronje.
Lengkapnya simak saja postingan berikut yang disadur dari www.eramuslim.com

Tahukah Anda: Islam Masuk ke Nusantara Saat Rasulullah SAW Masih Hidup (Bag.1)

Islam masuk ke Nusantara dibawa para pedagang dari Gujarat, India, di abad ke 14 Masehi. Teori masuknya Islam ke Nusantara dari Gujarat ini disebut juga sebagai Teori Gujarat. Demikian menurut buku-buku sejarah yang sampai sekarang masih menjadi buku pegangan bagi para pelajar kita, dari tingkat sekolah dasar hingga lanjutan atas, bahkan di beberapa perguruan tinggi.

Namun, tahukah Anda bahwa Teori Gujarat ini berasal dari seorang orientalis asal Belanda yang seluruh hidupnya didedikasikan untuk menghancurkan Islam? Orientalis ini bernama Snouck Hurgronje, yang demi mencapai tujuannya, ia mempelajari bahasa Arab dengan sangat giat, mengaku sebagai seorang Muslim, dan bahkan mengawini seorang Muslimah, anak seorang tokoh di zamannya.

Mengutip buku Gerilya Salib di Serambi Makkah (Rizki Ridyasmara, Pustaka Alkautsar, 2006) yang banyak memaparkan bukti-bukti sejarah soal masuknya Islam di Nusantara, Peter Bellwood, Reader in Archaeology di Australia National University, telah melakukan banyak penelitian arkeologis di Polynesia dan Asia Tenggara.

Bellwood menemukan bukti-bukti yang menunjukkan bahwa sebelum abad kelima masehi, yang berarti Nabi Muhammad SAW belum lahir, beberapa jalur perdagangan utama telah berkembang menghubungkan kepulauan Nusantara dengan Cina. Temuan beberapa tembikar Cina serta benda-benda perunggu dari zaman Dinasti Han dan zaman-zaman sesudahnya di selatan Sumatera dan di Jawa Timur membuktikan hal ini.

Dalam catatan kakinya Bellwood menulis, “Museum Nasional di Jakarta memiliki beberapa bejana keramik dari beberapa situs di Sumatera Utara. Selain itu, banyak barang perunggu Cina, yang beberapa di antaranya mungkin bertarikh akhir masa Dinasti Zhou (sebelum 221 SM), berada dalam koleksi pribadi di London. Benda-benda ini dilaporkan berasal dari kuburan di Lumajang, Jawa Timur, yang sudah sering dijarah…” Bellwood dengan ini hendak menyatakan bahwa sebelum tahun 221 SM, para pedagang pribumi diketahui telah melakukan hubungan dagang dengan para pedagang dari Cina.

Masih menurutnya, perdagangan pada zaman itu di Nusantara dilakukan antar sesama pedagang, tanpa ikut campurnya kerajaan, jika yang dimaksudkan kerajaan adalah pemerintahan dengan raja dan memiliki wilayah yang luas. Sebab kerajaan Budha Sriwijaya yang berpusat di selatan Sumatera baru didirikan pada tahun 607 Masehi (Wolters 1967; Hall 1967, 1985). Tapi bisa saja terjadi, “kerajaan-kerajaan kecil” yang tersebar di beberapa pesisir pantai sudah berdiri, walau yang terakhir ini tidak dijumpai catatannya.

Di Jawa, masa sebelum masehi juga tidak ada catatan tertulisnya. Pangeran Aji Saka sendiri baru “diketahui” memulai sistem penulisan huruf Jawi kuno berdasarkan pada tipologi huruf Hindustan pada masa antara 0 sampai 100 Masehi. Dalam periode ini di Kalimantan telah berdiri Kerajaan Hindu Kutai dan Kerajaan Langasuka di Kedah, Malaya. Tarumanegara di Jawa Barat baru berdiri tahun 400-an Masehi. Di Sumatera, agama Budha baru menyebar pada tahun 425 Masehi dan mencapai kejayaan pada masa Kerajaan Sriwijaya.

Temuan G. R Tibbets

Adanya jalur perdagangan utama dari Nusantara—terutama Sumatera dan Jawa—dengan Cina juga diakui oleh sejarahwan G. R. Tibbetts. Bahkan Tibbetts-lah orang yang dengan tekun meneliti hubungan perniagaan yang terjadi antara para pedagang dari Jazirah Arab dengan para pedagang dari wilayah Asia Tenggara pada zaman pra Islam. Tibbetts menemukan bukti-bukti adanya kontak dagang antara negeri Arab dengan Nusantara saat itu.

“Keadaan ini terjadi karena kepulauan Nusantara telah menjadi tempat persinggahan kapal-kapal pedagang Arab yang berlayar ke negeri Cina sejak abad kelima Masehi, ” tulis Tibbets. Jadi peta perdagangan saat itu terutama di selatan adalah Arab-Nusantara-China.

Sebuah dokumen kuno asal Tiongkok juga menyebutkan bahwa menjelang seperempat tahun 700 M atau sekitar tahun 625 M—hanya berbeda 15 tahun setelah Rasulullah menerima wahyu pertama atau sembilan setengah tahun setelah Rasulullah berdakwah terang-terangan kepada bangsa Arab—di sebuah pesisir pantai Sumatera sudah ditemukan sebuah perkampungan Arab Muslim yang masih berada dalam kekuasaan wilayah Kerajaan Budha Sriwijaya.

Di perkampungan-perkampungan ini, orang-orang Arab bermukim dan telah melakukan asimilasi dengan penduduk pribumi dengan jalan menikahi perempuan-perempuan lokal secara damai. Mereka sudah beranak–pinak di sana. Dari perkampungan-perkampungan ini mulai didirikan tempat-tempat pengajian al-Qur’an dan pengajaran tentang Islam sebagai cikal bakal madrasah dan pesantren, umumnya juga merupakan tempat beribadah (masjid).

Temuan ini diperkuat Prof. Dr. HAMKA yang menyebut bahwa seorang pencatat sejarah Tiongkok yang mengembara pada tahun 674 M telah menemukan satu kelompok bangsa Arab yang membuat kampung dan berdiam di pesisir Barat Sumatera. Ini sebabnya, HAMKA menulis bahwa penemuan tersebut telah mengubah pandangan orang tentang sejarah masuknya agama Islam di Tanah Air. HAMKA juga menambahkan bahwa temuan ini telah diyakini kebenarannya oleh para pencatat sejarah dunia Islam di Princetown University di Amerika.

Pembalseman Firaun Ramses II Pakai Kapur Barus Dari Nusantara

Dari berbagai literatur, diyakini bahwa kampung Islam di daerah pesisir Barat Pulau Sumatera itu bernama Barus atau yang juga disebut Fansur. Kampung kecil ini merupakan sebuah kampung kuno yang berada di antara kota Singkil dan Sibolga, sekitar 414 kilometer selatan Medan. Di zaman Sriwijaya, kota Barus masuk dalam wilayahnya. Namun ketika Sriwijaya mengalami kemunduran dan digantikan oleh Kerajaan Aceh Darussalam, Barus pun masuk dalam wilayah Aceh.

Amat mungkin Barus merupakan kota tertua di Indonesia mengingat dari seluruh kota di Nusantara, hanya Barus yang namanya sudah disebut-sebut sejak awal Masehi oleh literatur-literatur Arab, India, Tamil, Yunani, Syiria, Armenia, China, dan sebagainya.

Sebuah peta kuno yang dibuat oleh Claudius Ptolomeus, salah seorang Gubernur Kerajaan Yunani yang berpusat di Aleksandria Mesir, pada abad ke-2 Masehi, juga telah menyebutkan bahwa di pesisir barat Sumatera terdapat sebuah bandar niaga bernama Barousai (Barus) yang dikenal menghasilkan wewangian dari kapur barus.

Bahkan dikisahkan pula bahwa kapur barus yang diolah dari kayu kamfer dari kota itu telah dibawa ke Mesir untuk dipergunakan bagi pembalseman mayat pada zaman kekuasaan Firaun sejak Ramses II atau sekitar 5. 000 tahun sebelum Masehi!

Berdasakan buku Nuchbatuddar karya Addimasqi, Barus juga dikenal sebagai daerah awal masuknya agama Islam di Nusantara sekitar abad ke-7 Masehi. Sebuah makam kuno di kompleks pemakaman Mahligai, Barus, di batu nisannya tertulis Syekh Rukunuddin wafat tahun 672 Masehi. Ini memperkuat dugaan bahwa komunitas Muslim di Barus sudah ada pada era itu.

Sebuah Tim Arkeolog yang berasal dari Ecole Francaise D’extreme-Orient (EFEO) Perancis yang bekerjasama dengan peneliti dari Pusat Penelitian Arkeologi Nasional (PPAN) di Lobu Tua-Barus, telah menemukan bahwa pada sekitar abad 9-12 Masehi, Barus telah menjadi sebuah perkampungan multi-etnis dari berbagai suku bangsa seperti Arab, Aceh, India, China, Tamil, Jawa, Batak, Minangkabau, Bugis, Bengkulu, dan sebagainya.

Tim tersebut menemukan banyak benda-benda berkualitas tinggi yang usianya sudah ratusan tahun dan ini menandakan dahulu kala kehidupan di Barus itu sangatlah makmur.

Di Barus dan sekitarnya, banyak pedagang Islam yang terdiri dari orang Arab, Aceh, dan sebagainya hidup dengan berkecukupan. Mereka memiliki kedudukan baik dan pengaruh cukup besar di dalam masyarakat maupun pemerintah (Kerajaan Budha Sriwijaya). Bahkan kemudian ada juga yang ikut berkuasa di sejumlah bandar. Mereka banyak yang bersahabat, juga berkeluarga dengan raja, adipati, atau pembesar-pembesar Sriwijaya lainnya. Mereka sering pula menjadi penasehat raja, adipati, atau penguasa setempat. Makin lama makin banyak pula penduduk setempat yang memeluk Islam. Bahkan ada pula raja, adipati, atau penguasa setempat yang akhirnya masuk Islam. Tentunya dengan jalan damai

Tahukah Anda: Islam Masuk ke Nusantara Saat Rasulullah SAW Masih Hidup (Bag.2 Tamat)

Sejarahwan T. W. Arnold dalam karyanya “The Preaching of Islam” (1968) juga menguatkan temuan bahwa agama Islam telah dibawa oleh mubaligh-mubaligh Islam asal jazirah Arab ke Nusantara sejak awal abad ke-7 M.

Setelah abad ke-7 M, Islam mulai berkembang di kawasan ini, misal, menurut laporan sejarah negeri Tiongkok bahwa pada tahun 977 M, seorang duta Islam bernama Pu Ali (Abu Ali) diketahui telah mengunjungi negeri Tiongkok mewakili sebuah negeri di Nusantara (F. Hirth dan W. W. Rockhill (terj), Chau Ju Kua, His Work On Chinese and Arab Trade in XII Centuries, St.Petersburg: Paragon Book, 1966, hal. 159).

Bukti lainnya, di daerah Leran, Gresik, Jawa Timur, sebuah batu nisan kepunyaan seorang Muslimah bernama Fatimah binti Maimun bertanggal tahun 1082 telah ditemukan. Penemuan ini membuktikan bahwa Islam telah merambah Jawa Timur di abad ke-11 M (S. Q. Fatini, Islam Comes to Malaysia, Singapura: M. S. R.I., 1963, hal. 39).

Dari bukti-bukti di atas, dapat dipastikan bahwa Islam telah masuk ke Nusantara pada masa Rasulullah masih hidup. Secara ringkas dapat dipaparkan sebagai berikut: Rasululah menerima wahyu pertama di tahun 610 M, dua setengah tahun kemudian menerima wahyu kedua (kuartal pertama tahun 613 M), lalu tiga tahun lamanya berdakwah secara diam-diam—periode Arqam bin Abil Arqam (sampai sekitar kuartal pertama tahun 616 M), setelah itu baru melakukan dakwah secara terbuka dari Makkah ke seluruh Jazirah Arab.

Menurut literatur kuno Tiongkok, sekitar tahun 625 M telah ada sebuah perkampungan Arab Islam di pesisir Sumatera (Barus). Jadi hanya 9 tahun sejak Rasulullah SAW memproklamirkan dakwah Islam secara terbuka, di pesisir Sumatera sudah terdapat sebuah perkampungan Islam.

Selaras dengan zamannya, saat itu umat Islam belum memiliki mushaf Al-Qur’an, karena mushaf Al-Qur’an baru selesai dibukukan pada zaman Khalif Utsman bin Affan pada tahun 30 H atau 651 M. Naskah Qur’an pertama kali hanya dibuat tujuh buah yang kemudian oleh Khalif Utsman dikirim ke pusat-pusat kekuasaan kaum Muslimin yang dipandang penting yakni (1) Makkah, (2) Damaskus, (3) San’a di Yaman, (4) Bahrain, (5) Basrah, (6) Kuffah, dan (7) yang terakhir dipegang sendiri oleh Khalif Utsman.

Naskah Qur’an yang tujuh itu dibubuhi cap kekhalifahan dan menjadi dasar bagi semua pihak yang berkeinginan menulis ulang. Naskah-naskah tua dari zaman Khalifah Utsman bin Affan itu masih bisa dijumpai dan tersimpan pada berbagai museum dunia. Sebuah di antaranya tersimpan pada Museum di Tashkent, Asia Tengah.

Mengingat bekas-bekas darah pada lembaran-lembaran naskah tua itu maka pihak-pihak kepurbakalaan memastikan bahwa naskah Qur’an itu merupakan al-Mushaf yang tengah dibaca Khalif Utsman sewaktu mendadak kaum perusuh di Ibukota menyerbu gedung kediamannya dan membunuh sang Khalifah.

Perjanjian Versailes (Versailes Treaty), yaitu perjanjian damai yang diikat pihak Sekutu dengan Jerman pada akhir Perang Dunia I, di dalam pasal 246 mencantumkan sebuah ketentuan mengenai naskah tua peninggalan Khalifah Ustman bin Affan itu yang berbunyi: (246) Di dalam tempo enam bulan sesudah Perjanjian sekarang ini memperoleh kekuatannya, pihak Jerman menyerahkan kepada Yang Mulia Raja Hejaz naskah asli Al-Qur’an dari masa Khalif Utsman, yang diangkut dari Madinah oleh pembesar-pembesar Turki, dan menurut keterangan, telah dihadiahkan kepada bekas Kaisar William II (Joesoef Sou’yb, Sejarah Khulafaur Rasyidin, Bulan Bintang, cet. 1, 1979, hal. 390-391).

Sebab itu, cara berdoa dan beribadah lainnya pada saat itu diyakini berdasarkan ingatan para pedagang Arab Islam yang juga termasuk para al-Huffadz atau penghapal al-Qur’an.

Menengok catatan sejarah, pada seperempat abad ke-7 M, kerajaan Budha Sriwijaya tengah berkuasa atas Sumatera. Untuk bisa mendirikan sebuah perkampungan yang berbeda dari agama resmi kerajaan—perkampungan Arab Islam—tentu membutuhkan waktu bertahun-tahun sebelum diizinkan penguasa atau raja. Harus bersosialisasi dengan baik dulu kepada penguasa, hingga akrab dan dipercaya oleh kalangan kerajaan maupun rakyat sekitar, menambah populasi Muslim di wilayah yang sama yang berarti para pedagang Arab ini melakukan pembauran dengan jalan menikahi perempuan-perempuan pribumi dan memiliki anak, setelah semua syarat itu terpenuhi baru mereka—para pedagang Arab Islam ini—bisa mendirikan sebuah kampung di mana nilai-nilai Islam bisa hidup di bawah kekuasaan kerajaan Budha Sriwijaya.

Perjalanan dari Sumatera sampai ke Makkah pada abad itu, dengan mempergunakan kapal laut dan transit dulu di Tanjung Comorin, India, konon memakan waktu dua setengah sampai hampir tiga tahun. Jika tahun 625 dikurangi 2, 5 tahun, maka yang didapat adalah tahun 622 Masehi lebih enam bulan. Untuk melengkapi semua syarat mendirikan sebuah perkampungan Islam seperti yang telah disinggung di atas, setidaknya memerlukan waktu selama 5 hingga 10 tahun.

Jika ini yang terjadi, maka sesungguhnya para pedagang Arab yang mula-mula membawa Islam masuk ke Nusantara adalah orang-orang Arab Islam generasi pertama para shahabat Rasulullah, segenerasi dengan Ali bin Abi Thalib r. A..

Kenyataan inilah yang membuat sejarawan Ahmad Mansyur Suryanegara sangat yakin bahwa Islam masuk ke Nusantara pada saat Rasulullah masih hidup di Makkah dan Madinah. Bahkan Mansyur Suryanegara lebih berani lagi dengan menegaskan bahwa sebelum Muhammad diangkat menjadi Rasul, saat masih memimpin kabilah dagang kepunyaan Khadijah ke Syam dan dikenal sebagai seorang pemuda Arab yang berasal dari keluarga bangsawan Quraisy yang jujur, rendah hati, amanah, kuat, dan cerdas, di sinilah ia bertemu dengan para pedagang dari Nusantara yang juga telah menjangkau negeri Syam untuk berniaga.

“Sebab itu, ketika Muhammad diangkat menjadi Rasul dan mendakwahkan Islam, maka para pedagang di Nusantara sudah mengenal beliau dengan baik dan dengan cepat dan tangan terbuka menerima dakwah beliau itu, ” ujar Mansyur yakin.

Dalam literatur kuno asal Tiongkok tersebut, orang-orang Arab disebut sebagai orang-orang Ta Shih, sedang Amirul Mukminin disebut sebagai Tan mi mo ni’. Disebutkan bahwa duta Tan mi mo ni’, utusan Khalifah, telah hadir di Nusantara pada tahun 651 Masehi atau 31 Hijriah dan menceritakan bahwa mereka telah mendirikan Daulah Islamiyah dengan telah tiga kali berganti kepemimpinan. Dengan demikian, duta Muslim itu datang ke Nusantara di perkampungan Islam di pesisir pantai Sumatera pada saat kepemimpinan Khalifah Utsman bin Affan (644-656 M). Hanya berselang duapuluh tahun setelah Rasulullah SAW wafat (632 M).

Catatan-catatan kuno itu juga memaparkan bahwa para peziarah Budha dari Cina sering menumpang kapal-kapal ekspedisi milik orang-orang Arab sejak menjelang abad ke-7 Masehi untuk mengunjungi India dengan singgah di Malaka yang menjadi wilayah kerajaan Budha Sriwijaya.

Gujarat Sekadar Tempat Singgah

Jelas, Islam di Nusantara termasuk generasi Islam pertama. Inilah yang oleh banyak sejarawan dikenal sebagai Teori Makkah. Jadi Islam di Nusantara ini sebenarnya bukan berasal dari para pedagang India (Gujarat) atau yang dikenal sebagai Teori Gujarat yang berasal dari Snouck Hurgronje, karena para pedagang yang datang dari India, mereka ini sebenarnya berasal dari Jazirah Arab, lalu dalam perjalanan melayari lautan menuju Sumatera (Kutaraja atau Banda Aceh sekarang ini) mereka singgah dulu di India yang daratannya merupakan sebuah tanjung besar (Tanjung Comorin) yang menjorok ke tengah Samudera Hindia dan nyaris tepat berada di tengah antara Jazirah Arab dengan Sumatera.

Bukalah atlas Asia Selatan, kita akan bisa memahami mengapa para pedagang dari Jazirah Arab menjadikan India sebagai tempat transit yang sangat strategis sebelum meneruskan perjalanan ke Sumatera maupun yang meneruskan ekspedisi ke Kanton di Cina. Setelah singgah di India beberapa lama, pedagang Arab ini terus berlayar ke Banda Aceh, Barus, terus menyusuri pesisir Barat Sumatera, atau juga ada yang ke Malaka dan terus ke berbagai pusat-pusat perdagangan di daerah ini hingga pusat Kerajaan Budha Sriwijaya di selatan Sumatera (sekitar Palembang), lalu mereka ada pula yang melanjutkan ekspedisi ke Cina atau Jawa.

Disebabkan letaknya yang sangat strategis, selain Barus, Banda Aceh ini telah dikenal sejak zaman dahulu. Rute pelayaran perniagaan dari Makkah dan India menuju Malaka, pertama-tama diyakini bersinggungan dahulu dengan Banda Aceh, baru menyusuri pesisir barat Sumatera menuju Barus. Dengan demikian, bukan hal yang aneh jika Banda Aceh inilah yang pertama kali disinari cahaya Islam yang dibawa oleh para pedagang Arab. Sebab itu, Banda Aceh sampai sekarang dikenal dengan sebutan Serambi Makkah.(Rz, Tamat)

Assalamu'alaikum, Ya'ahowu, Selamat Datang, Wellcome...

Assalamu'alaikum, Ya'ahowu, Selamat Datang, Wellcome...

Muslim Nias adalah bagian tak terpisahkan dari masyarakat Pulau Nias. Walaupun saat ini Islam di Pulau Nias penganutnya hanya sekitar 4 persen, tetapi sebagai agama yang telah masuk ke Nias sejak abad ke XVI tentu sedikit banyaknya telah memberi pengaruh tersendiri dalam kehidupan masyarakat Nias.

Masyarakat muslim Nias itu sendiri punya keunikan tersendiri, yang adat istiadatnya tidak lepas dari pengaruh budaya asli Nias, walaupun pengaruh budaya Melayu: Aceh dan Minang terasa masih kental.

Sejarah dan tradisi Muslim Nias memang menarik untuk disimak dan penting untuk diketahui, khususnya bagi generasi sekarang dan mendatang.
Melalui WebBlog ini diharapkan dapat menjadi alternatif media informasi dan komunikasi yang mengupas tentang tentang hal-hal tersebut.
Semoga bermanfaat. Wassalam.(YPMN)

Kami menantikan kontribusi anda berupa tulisan/ artikel yang berkaitan atau relevan dengan tujuan blog ini. Silahkan mengirimkannya ke muslim_nias[at]yahoo[dot]com.

Jika menyadur dari sumber lain, harap mencantumkan sumber tulisan, nama penulisnya serta link web sitenya.
YPMN berhak untuk tidak menyajikan tulisan atau komentar yang dianggap tidak relevan dengan tujuan Blog ini.

Isi dan materi tulisan sepenuhnya tanggung jawab para penulisnya.

Google