Friday, April 13, 2007

Manusia dari Bukit Kerang

Jum'at, 13 April 2007 | 00:41 WIB

TEMPO Interaktif, Medan:
Sehamparan sawah itu tak lagi terawat setelah banjir menghantamnya pada akhir tahun lalu. Pematangnya sudah dikepung rerumputan liar. Tak jauh dari sana, sebuah bukit memanjang dari utara ke selatan.

Bukit yang ada di Kampung Pangkalan, Aceh Tamiang, Nanggroe Aceh Darussalam itu, disebut bukit kerang. Bukit itu memang terbentuk dari sisa-sisa cangkang yang menggunduk, bercampur dengan tanah dan bebatuan.

Untuk mencapai bukit dibutuhkan perjalanan panjang. Dari Sungai Liput, 180 kilometer dari Kota Medan, Sumatra Utara, perjalanan dilanjutkan dengan sepeda motor menuju sebuah perkebunan di Simpang Semadam sejauh 5 kilometer. Setelah itu perjalanan dilanjutkan dengan berjalan kaki sejauh empat kilometer.

Ke sanalah sejumlah arkeolog dari Balai Arkeologi Medan dan mahasiswa antropologi dari Universitas Malikulsaleh, Lhokseumawe, melakukan penggalian pada akhir Maret lalu. Di bukit angker—menurut warga setempat—itu mereka menemukan tiga kerangka manusia.

Ketut Wiradyana, pemimpin penggalian, mengatakan penggalian pertama pada 1998 dilakukan di bukit itu berdasarkan informasi penggali kapur yang kerap menemukan tulang belulang manusia. Pada penggalian di empat titik mereka menemukan gerabah (peralatan terbuat dari tanah liat), alat batu, dan kerangka manusia.

Kerangka manusia itu berada dalam posisi terlipat. Tangannya ditekuk dan telapaknya ada di dahi. Kakinya juga ditekuk dengan lutut di depan perut. Posisi ini, menurut Ketut persis seperti bayi dalam kandungan.

"Karena kondisi (Aceh) yang tidak kondusif, penelitian ditinggalkan sementara dan beralih ke Nias," kata Ketut kepada Tempo di Balai Arkeologi Medan, pada selasa lalu.

Lalu pada 27 Maret sampai 3 April lalu arkeolog itu kembali ke Tamiang. Selain peralatan batu dan gerabah yang sama dengan penggalian sebelumnya, mereka juga menemukan tiga tengkorak manusia di kedalaman 50 sentimeter. Salah satunya masih menyisakan tulang lengan yang tertekuk.

Setelah dibandingkan dengan situs serupa di Hinai, Langkat, tim itu lalu memperkirakan peninggalan arkeologis itu berasal dari masa 5.000 sampai 7.000 tahun Before Present (penanggalan berdasarkan perhitungan radiokarbon). Ini tergolong pada masa Holosen berdasarkan pembabakan geologis.

Untuk memastikan lebih lanjut, mereka telah meminta bantuan Institut Penelitian untuk Pembangunan (Institut de recherche paur le developpement) dari Prancis.

Ketut mengatakan ada kesamaan antara temuan kerangka tahun 1998 dan yang terbaru: sama-sama berorientasi ke selatan. Dia menduga itu ada kaitannya dengan kepercayaan masyarakat Tamiang bahwa arah Utara-Selatan bukanlah arah kehidupan, sebagaimana Timur-Barat. "Jadi ada kesinambungan konsep religi dengan masyarakat Tamiang sekarang," katanya.

Arkeolog itu juga menemukan tanda hematit (tanda merah atau coklat yang dibuat dari batuan lembek) di tengkorak-tengkorak itu.

Lukas Partanda Koestoro, Kepala Balai Arkeologi Medan, mengatakan situs-situs bukit kerang adalah hal yang jamak di pesisir timur pulau Sumatra. Menurutnya situs semacam itu mencirikan kebudayaan Hoabinhian dari daerah Hoabinh di Vietnam.

Ciri kebudayaan itu adalah masyarakatnya hidup dari kerang-kerangan dan menggunakan alat batu yang khas yakni batu lonjong monofasial (dipahat satu sisi) yang disebut Sumatralith. Ciri lainnya; mereka telah mendirikan rumah panggung.

"Ada asumsi manusia berimigrasi dari Hoabinh ke kepulauan di Asia Tengara termasuk Sumatra," katanya.

Hal ini dibenarkan Harry Truman Simanjuntak, peneliti dari Pusat Penelitian Arkeologi Nasional. Menurutnya, manusia pendukung kebudayaan Hoabinhian mengembara dari utara dan tiba di Pulau Sumatra pada era Holosen (berlangsung mulai 11.000 tahun BP).

Adapun penguburan dengan jenazah berlipat itu, “Adalah mode pada masa Holosen di Asia Tenggara,” katanya kepada Tempo kemarin.

Praktek penguburan semacam itu berkembang sampai ke timur Indonesia. Ini ada kaitannya dengan manusia yang mendiami kawasan Asia Tenggara pada masa itu, yakni ras Austromelanesid. Ras ini berkembang sampai ke manusia Papua dan sebagian wilayah timur Indonesia pada saat ini.

Tapi kebudayaan itu, kata Harry, hanya tersebar sampai di pesisir timur Sumatra saja. “Berdasarkan pengujian, mereka tak sampai ke Pulau Jawa,” katanya.

Terhentinya penyebaran itu, menurut Harry, diduga akibat terganggunya ketersediaan sumber daya laut sehingga mengganggu kelangsungan hidup mereka. “Yang bertahan dan berkembang di Indonesia justru pendukung kebudayaan serpih,” katanya.

DEDDY SINAGA | HAMBALI BATUBARA | SANGKHAKALA | WIKIPEDIA

No comments:

Assalamu'alaikum, Ya'ahowu, Selamat Datang, Wellcome...

Assalamu'alaikum, Ya'ahowu, Selamat Datang, Wellcome...

Muslim Nias adalah bagian tak terpisahkan dari masyarakat Pulau Nias. Walaupun saat ini Islam di Pulau Nias penganutnya hanya sekitar 4 persen, tetapi sebagai agama yang telah masuk ke Nias sejak abad ke XVI tentu sedikit banyaknya telah memberi pengaruh tersendiri dalam kehidupan masyarakat Nias.

Masyarakat muslim Nias itu sendiri punya keunikan tersendiri, yang adat istiadatnya tidak lepas dari pengaruh budaya asli Nias, walaupun pengaruh budaya Melayu: Aceh dan Minang terasa masih kental.

Sejarah dan tradisi Muslim Nias memang menarik untuk disimak dan penting untuk diketahui, khususnya bagi generasi sekarang dan mendatang.
Melalui WebBlog ini diharapkan dapat menjadi alternatif media informasi dan komunikasi yang mengupas tentang tentang hal-hal tersebut.
Semoga bermanfaat. Wassalam.(YPMN)

Kami menantikan kontribusi anda berupa tulisan/ artikel yang berkaitan atau relevan dengan tujuan blog ini. Silahkan mengirimkannya ke muslim_nias[at]yahoo[dot]com.

Jika menyadur dari sumber lain, harap mencantumkan sumber tulisan, nama penulisnya serta link web sitenya.
YPMN berhak untuk tidak menyajikan tulisan atau komentar yang dianggap tidak relevan dengan tujuan Blog ini.

Isi dan materi tulisan sepenuhnya tanggung jawab para penulisnya.

Google