Tuesday, February 20, 2007

Jejak Manusia Pertama Sumatera Utara Ada di Pulau Nias

Sabtu, 25 November 2006 | 04:33 WIB

TEMPO Interaktif, Medan:
Penelitian Balai Arkeologi Medan menguak jejak peradaban manusia pertama di Sumatera Utara. Jejak kehadiran manusia tergambar dari temuan arkeologis seperti sisa-sisa vertebrata (tulang dan gigi).

Lokasinya di sebuah goa pada ketinggian 175 meter di atas permukaan laut di Desa Lolowonu Niko'otano, Kecamatan Gunung Sitoli, Kabupaten Nias.

Temuan lain dari perut goa yang dikeruk hingga kedalaman 4 meter, yaitu alat-alat batu yang berkarakter paleolitik, di antaranya serpih batu, batu pukul dan pipisan dan mata panah dari batu dengan panjang 2,5 sentimeter.

Bukti peradaban masa lalu yang paling menarik adalah penemuan batu andesit berbentuk lonjong dengan karakter sebagai pemukul, batu pukul dan alat atau spatula berbahan tanduk dan cangkang moluska.

Analisis yang dilakukan terhadap penemuan itu, menurut peneliti Balai Arkeologi Medan Ketut Wiradnyana, sangat absolut. Hasilnya menakjubkan, sudah ada manusia yang tinggal di Nias, khususnya di Goa Togi Ndrawa, Desa Lolowonu Niko'otano sejak 12 ribu tahun silam dan berlangsung terus-menerus hingga berkisar 1150 Masehi.

Umur kehidupan manusia pertama di Pulau Nias itu dihitung dengan metode radio carbon atas sampel moluska. Manusia pertama yang tinggal di dalam goa memanfaatkan biota marin khususnya yang berada pada kawasan mangrove.

Hal itu dapat dibuktikan, kata Ketut, dari tumpukan cangkang moluska yang banyak ditemukan dari dalam lobang penggalian situs.

Budaya yang ada pada manusia pertama di Nias itu sama persis dengan budaya prasejarah yang terdapat di wilayah Vietnam (Hoabinh).

Kemungkinan lain dapat ditarik jika masa paleolitik di Pulau Nias memiliki waktu yang relatif sama dengan masa Paleolitik di daerah Indonesia (Nusantara) lainnya.

Saat itu migrasi manusia di nusantara sebagian diyakini berasal dari daratan Asia. Manusia masa paleolitik kemudian berkembang cara hidupnya sejalan perkembangan otaknya ke masa mesolitik, neolitik, megalitik sampai sekarang.

SAHAT SIMATUPANG

Sunday, February 18, 2007

Riwayat Datangnya Suku Chaniago dari Minang ke Nias

Seorang bangsawan Minang asal Priangan Padang Panjang bernama Nyik Puncak Alam dari suku Chaniago bergelar Datuk Raja Ahmad yang disertai penghulunya Ahmad Sirinto dan Si Kumango berlayar menuju Aceh Barat dengan sebuah kapal layar (picalang) yang dilengkapi dengan persenjataan lengkap termasuk beberapa pucuk meriam. Misi pelayaran ini adalah untuk berdagang. Dalam penuturan lain disebutkan bahwa misinya untuk mencari Mamaknya (saudara laiki-laki Ibu) yang telah lama berlayar ke Negeri Aceh, bernama Tuanku Kariem.

Saat itu pantai barat Sumatera sangat tidak aman, akibat merajalelalanya perampok dan bajak laut. Masalah keamanan ini tidak bisa ditangani dengan baik oleh Kesultanan Aceh yang mulai melemah sepeninggal Sultan Iskandar Muda.

Menurut catatan para pemuka-pemuka adat Ilir Gunungsitoli, yang dikutip dari tambo lama, disebutkan bahwa kapal layar Datuk Raja Ahmad tiba di Teluk Baliku (Sekarang bernama Muara Indah, yang berlokasi di Desa Afia Kec. Tuhemberua) pada 1111 H. atau sekitar tahun 1690 M. Dalam tulisan lain menyebutkan pada 11 Safar 1111 H.
Kedatangannya ini sendiri awalnya hanya sekedar berlindung dari amukan badai. Namun belakangan Datuk Raja Ahmad bersedia tinggal di Pulau Nias atas permintaan dari raja-raja di Nias yang berdua di Negeri Laraga Talu Idanoi yaitu Balugu Aforo Laowofa untuk membantu mengatasi serangan bajak laut yang semakin mengganas di wilayah pesisir pantai Pulau Nias.

Kesediaan Datuk Raja Ahmad ini didahului dengan adanya kesepakatan dengan raja-raja Nias. Adapun isi kesepakatan antara Datuk Raja Ahmad dan raja-raja Nias, seperti dikutip dari "Sejarah Koto - Benteng Kuno" tulisan AR. Sutan Ibrahim dan Sutan Amin Alam, halaman 6 paragraf 5, adalah sebagai berikut:

Seketika itu maka bertanyalah Datuk Raja Ahmad: "Kalau hamba berdiam disini, apakah pemberian Raja-raja kepada hamba? Maka menjawab Raja-raja Nias yang berdua: "Bertigalah kita memerintah tanaha ini, sebelah pesisir tepi laut Datuk yang menguasai dan memerintah sampai di kaki gunung yakni dimana-mana sampai pemerintah ta'luk kami, pulang kepada datuk semuanya. Lalu bersumpah setialah Raja-raja Nias dengan Datuk Raja Ahmad nan tidak cido mencidokan, jika hilang di darat Raja-raja Nias yang mencari, jika hilang di laut Datuk Raja Ahmad yang mencari. Maka dalam pada ituterdengarlah pula kepada Raja kepala suku Telaumbanua Raja Awuwuoha, turut menjadi sepakat seia bersama-sama tolong menolong.

Selanjutnya seperti disebutkan dalam "Riwayat Kedatangan Suku Aceh di Pulau Nias", Datuk Raja Ahmad tinggal di Pulau Nias dan bertemu dengan Teuku Polem dan kemudian menikah dengan putrinya yaitu Siti Zohora. Perkawinan Datuk Raja Ahmad dan Siti Zohora ini dikaruniai tiga orang putra yaitu:

1. Datuk Raja Jamat
2. Raja Mangkuto
3. Datuk Raja Malimpah

Setelah melahirkan anak pertama, Siti Zohora meminta suaminya Datuk Raja Ahmad untuk menjemput kakaknya Si Meugang ke Meulaboh. Oleh Datuk Raja Ahmad permintaan ini dipenuhi dengan mengutus penghulunya Ahmad Sirinto. Teuku Simeugang dan Si Acah akhirnya pulang kembali ke Nias dengan membawa beberapa tanda mata peninggalan kakeknya Teuku Cik berupa persenjataan dan meriam, Badi Suasa, Cerana Perak dan barang-barang berharga lainnya.


NDRAWA SOWANUA

Wilayah tempat tinggal Datuk Raja Ahmad ini kemudian berkembang menjadi sebuah "koto" (Koto dalam bahasa Minang berarti Kota). Koto ini juga sekaligus menjadi benteng pertahanan dari gangguan kemanan dan musuh dan dilengkapi dengan beberapa pucuk meriam. Meriam-meriam peninggalan tersebut hingga kini masih dapat ditemui, yaitu di Kelurahan Ilir Gunungsitoli, tepatnya di persimpangan jalan Diponegoro.
Seiring dengan semakin berkembangnya penduduk dan wilayah, koto ini dinamakan Arö koto atau Kampung Dalam. Wilayah tersebut terletak di perbatasan antara desa Mudik dan Kelurahan Ilir, tepat disisi Kali Nou. Ada juga yang menyebutkan bahwa penamaan Arö Koto ini sesuai dengan nama kampung asal Datuk Raja Ahmad di Priangan yaitu Kampung Dalam, Pariaman di Sumatera Barat.

Pemilikan wilayah dan daerah kekuasaan pesisir pantai oleh Ndrawa ini telah disahkan secara adat oleh lembaga adat yang diselenggarakan oleh pemimpin para Ndrawa dengan raja-raja Nias yang disebut FONDRAKÖ.

FONDRAKÖ pertama diselenggarakan di Mbuniö dan Heleduna (berlokasi di kaki bukit Lasara). Sehingga sejak saat itu kedudukan para Ndrawa sama dengan penduduk asli Nias dan mereka disebut sebagai NDRAWA SOWANUA, yang artinya pendatang yang mempunyai negeri atau kampung.

Sehingga tidak mengherankan jika hingga sekarang, umumnya para kota atau kampung di sepanjang daerah pesisir pantai Nias adalah merupakan pemukiman dari keturunan Aceh dan Minang.

Sumber tulisan:
  1. Sedjarah Ringkas Kampung Ilir dan Jang Berhubung dengan Itu, oleh Tadjudin Alam (Mantan Kepala Kampung Ilir), 29 Februari 1952.
  2. Sejarah Koto Benteng Kuno, oleh AR. Sutan Ibrahim dan Sutan Amin Alam, 28 Mei 1938.

Riwayat Kedatangan Teuku Polem di Pulau Nias

Suatu ringkasan dari tulisan M. Idlim Polem: "Sejarah Kedatangan Teuku Polem di Gunungsitoli Pulau Nias"

Pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda Mahkota Alam, wilayah kesultanan Aceh di bagi dalam beberapa sub wilayah pemerintahan. Wilayah bagian Barat saat itu berkedudukan di Preumbeue Meulaboh dan sebagai kepala pemerintahannya adalah Teuku Cik dari Meuraksa Kutaraja (Banda Aceh) Mukim XXVI.

Teuku Cik mempunyai 2 putra dan 1 putri, yaitu: Teuku Polem, Teuku Imeum Balo dan Siti Zalikha. Teuku Polem sebagai anak tertua diangkat menjadi pembantu ayahnya di bidang keamanan sedangkan Teuku Imeum Balo ditugaskan di bidang keagamaan. Teuku Polem sering memimpin langsung operasi pengamanan sepanjang pantai barat hingga ke Natal yang sering diganggu oleh perampok dan bajak laut.

Suatu ketika saat memimpin operasi dan kembali ke Tapak Tuan, Teuku Polem mendapat kabar duka bahwa ayahandanya telah wafat, dan berhubung Teuku Polem tidak berada di Meuloboh maka adiknya Teuku Imeum Balo diangkat sebagai pejabat sementara. Namun sekembalinya Teuku Polem di Meulaboh, beliau menolak diangkat menjadi pengganti ayahandanya dan menyerahkan tampuk pemerintah kepada adiknya yang telah diangkat menjadi pejabat sementara.

Teuku Polem justru melanjutkan tugasnya sebagai pemimpin keamanan. Kira-kira tahun 1642 M. Teuku Polem meninggalkan Meulaboh dengan 5 armada (Pincalang/ Kapal Layar) dan memutuskan hijrah dari Meulaboh dan bertekad bulat dimana menjumpai daratan maka disitulah tanah tumpah darahnya serta anak cucunya.

Armada ini akhirnya tiba di Pulau Nias dan berlabuh persisi sekitar Luaha Laraga Idanoi. Setelah menyusuri Luaha Laraga hingga ke hulu, rombongan Teuku Polem bertemu dan diterima dengan baik oleh penguasa daerah tersebut, yaitu Balugu Harimo. Daerah kekusaan Balugu Harimo ini bernama Onozitoli Laraga. Balugu Harimo mempunyai 3 orang putra dan 1 orang putri, yaitu:

1. Balugu Mangaraja Fagowa Harefa
2. Balugu Kaowa Kahemanu Harefa
3. Kahomo Harefa
4. Bowoanaa Harefa

Setahun setelah bermukim di Onozitoli Laraga, Teuku Polem menikahi putri Balugu Harimo; Bowoanaa Harefa. Sehingga putrinya ini resmi menjadi Istri Teuku Polem dan memeluk agama Islam. Saat itu kepercayaan yang dianut masyarakat Nias masih animisme dan dinamisme.

Setelah Bowoanaa memeluk Islam, keponakannya (anak dari Mangaraja Fagowa Harefa) yang bernama si Acah Harefa memeluk Islam. Keturunannya hingga saat ini adalah penduduk kampung Miga Oritabaloho Dahana Kecamatan Gunungsitoli.
Keturunan dari Kahomo Harefa juga mengikuti jejak yang sama dan keturunannya sekarang sebagian tinggal di Desa Mudik Kec. Gunungsitoli dan sebagain di Sifahandro Kec. Tuhemberua.
Sedangkan keturunan dari Balugi Kaowa Kahemanu Harefa kebanyakan memeluk agama Kristen Protestan dan keturunannya berdomisili di Lasara Hili Oritabloho Dahana, namun sebagian ada yang memeluk Islam dan selanjutnya berdomisili di Desa Mudik dan Sifahandro.

Pada tahun 1644 Balugu Harimo beserta keluarganya juga Teuku Polem pindah dari Onozitoli Laraga ke arah lembah sebuah sungai (Kali Nou) tepatnya di Dahana. Di daerah ini sebelumnya telah bermukim saudara Balugu Harimo yaitu Tua Laowo. Selanjutnya pada tahun yang sama, anak-anaknya Balugu Kaowa Kahemanu dan Kahomo pindah dari Dahana ke Lasara. Sedangkan Teuku Polem sekeluarga pindah ke Siwulu atau Geri'i (atua si lo niha/ hutan tak berpenghuni), yang sekarang ini adalah wilayah Desa Mudik.

Selama bermukim di Siwulu, Teuku Polem dan istrinya Bowoanaa Harefa dianugrahi seorang Putra bernama Simeugang (lahir 1653) dan Siti Zohora (lahir tahun 1654). Selanjutnya beberepa kerabat Teuku Polem ada yang kembali ke Aceh dan ada juga yang menuju arah Selatan dan Utara Pulau Nias dan membuka pemukiman baru. Sejak itu lambat laun mulailah ramai berdatangan pedagang-pedagang dari Aceh, Natal dan Sumatera Barat.

Selama kurang lebih 11 tahun bermukim di Siwulu, Teuku Polem selanjutnya berpindah lagi ke dekat Heleduna pada tahun 1655, dan sebagian kerabatnya ada yang memilih menetap di Siwulu/ Geri'i. Kemungkinan besar Heleduna dibuka sebagai pemukiman baru, karena disitu terdapat sumber mata air yang lebih besar dan lokasinya juga tidak terlalu jauh dengan pemukiman saudara-saudara iparnya di Lasara.

Pada tahun 1674 datang serombongan utusan Teuku Imeum Balo (adik Teuku Polem) dari Meulaboh untuk meminta Teuku Polem kembali ke Aceh, namun karena sudah bertekad bulat menetap di Pulau Nias, permintaan tersebut tidak dapat dipenuhi Teuku Polem. Pada tahun 1675 kembali datang utusan dengan maksud yang sama. Untuk tidak mengecewakan adiknya, Teuku Polem mengutus anaknya Simeugang sebagai penggantinya (pada saat itu telah berusia 22 tahun) disertai keponakannya si Acah Harefa (anak dari Balugu Mangaraja Fagowa). Mereka mereka belajar tentang agama Islam di Meulaboh selama 14 tahun.

Pada tahun 1690 M. Siti Zohora dikawinkan dengan Datuk Ahmad, seorang bangsawan yang datang dari Padang Pariaman. Tidak lama kemudian mereka dikaruniai seorang putra.

Setelah melahirkan putra pertama mereka, Datuk Raja Ahmad diminta oleh istrinya Siti Zohora dan mertuanya Teuku Polem untuk menjemput kakak iparnya Simeugang dan si Acah ke Meulaboh.

Teuku Simeugang dan Si Acah akhirnya pulang kembali ke Nias dengan membawa beberapa tanda mata peninggalan kakeknya Teuku Cik berupa persenjataan dan meriam, Badi Suasa, Cerana Perak dan barang-barang berharga lainnya.

Dua pucuk meriam tersebut masih ada hingga kini, satu berada di halaman masjid Jami' Desa Mudik dan satu lagi berada di depan rumah dinas Bupati Nias. Dulunya kedua meriam tersebut berada di Desa Mudik, namun pada masa pemerintahan Belanda, oleh asisten Resident Nias atas seizin cucu-cucu Teuku Polem diambil dan diletakkan di depan kediaman Asisten Resident Nias, yang kini jadi rumah dinas Bupati Nias.

Teuku Polem wafat kira-kira tahun 1698 M. dan atas kesepakatan Teuku Simeugang dengan pihak paman dan iparnya, Teuku Polem dikebumikan ditempat yang jaraknya sama jauhnya dari rumah Teuku Simeugang dengan rumah adiknya Siti Zohora istri Datuk Raja Ahmad.

Saturday, February 17, 2007

Sejarah Masuknya Suku Aceh di Nias

Pada masa pemerintah Sultan Iskandar Muda Perkasa Alam (1607-1635) di Aceh, Nias telah masuk menjadi salah satu wilayah kekuasaannya pada tahun 1624. Sehingga sejak saat itu orang-orang Aceh telah mulai menempati beberapa wilayah di Pulau Nias khususnya di pesisir pantai.

Hingga tulisan ini diposting, kami belum memperoleh keterangan yang cukup komprehensif mengenai bagaiamana sejarah masuknya Nias dalam wilayah kekuasaan Aceh dan bagaimana orang-orang Aceh datang dan mendiami pulau Nias.

Namun demikian ada beberapa catatan yang diperoleh dari beberapa sumber mengenai hal ini, antara lain:Sumber tulisan: Sejarah Kedatangan Teuku Polem di Gunungsitoli Pulau Nias oleh Muhammad Idlim Polem (Mantan Kepala Desa Mudik)

  • Tentang keberadaan orang-orang Aceh ini diperkuat dalam buku Encyclopedia Van Nederndsch Cost Indie III cetakan kedua, keluaran Martinus Nijhoffe Gravenhage tahun 1915 pada halaman kedua yang menyebutkan bahwa seorang Belanda bernama Davidson telah mengelilingi pulau Nias pada tahun 1665 dan menyaksikan orang-orang Melayu terutama Aceh bergaul dengan suku-suku Nias dan bahwa agama yang mereka anut adalah Islam.

  • Keterangan lain diperoleh dari kutipan dari buku "Asal Usul Masyarakat Nias - Suatu Interpretasi" karangan P. Johannes M. Harmmerle OFMCap. tahun 2001 menyebutkan:
  1. ... saya berpendapat, bahwa masyarakat Nias bukan satu suku yang homogen saja, melainkan suatu perpaduan dari beberapa suku yang berbeda asal-usulnya (hal. 24).

  2. Sekurang-kurangnya kami melihat di Nias Selatan beberapa indikasi yang boleh jadi berasal dari Sumatera. (ha. 212).

  3. Pengaruh pendatang dari Aceh sangat terasa di pulau Nias, terutama di Nias Utara (hal. 224).

  4. Keturunan dari Polem di daerah To'ene cukup banyak. Mulai dengan cucu dari Polem yang diberi nama Duha, maka keturunannya digelari dengan marga Duha (hal. 226).
  • Penjelasan yang cukup rinci tentang kedatangan suku Aceh di Nias diperoleh dari pemuka-pemuka adat Desa Mudik (salah satu wilayah yang ditempati oleh orang-orang Aceh dan keturunannya hingga kini). Riwayat ini diperoleh baik dari penuturan orang-orang tua secara turun-temurun maupun dari tambo-tambo lama dan dokumen-dokumen lama yang masih tersimpan baik hingga kini.

    Adapun riwayat ini telah dihimpun dalam sebuah tulisan berjudul: Sejarah Kedatangan Teuku Polem di Gunungsitoli Pulau Nias oleh M. Idlim Polem (Mantan Kepala Desa Mudik).


Ringkasan dari tulisan tersebut dapat dibaca pada posting selanjutnya.
Sumber tulisan: Sejarah Kedatangan Teuku Polem di Gunungsitoli Pulau Nias oleh Muhammad Idlim Polem (Mantan Kepala Desa Mudik)

Kronologi Masuknya Islam di Nias

Sebagaimana kedatangan Islam di Nusantara, Islam masuk ke P.Nias bukan melalui misi khusus untuk menyebarkan agama, melainkan dibawa oleh para pendatang ke P.Nias baik yang berdagang maupun yang menetap disana.

Meskipun Islam telah terlebih dahulu masuk ke P.Nias, namun pada perkembanganya tidak sepesat agama Kristen yang disebarkan dalam misi khusus oleh para misionaris.

Umumnya masyarakat asli Nias yang masuk Islam adalah karena kesadaran sendiri atau karena ikatan perkawinan dengan para pendatang yang beragama Islam.
Menurut hemat kami, ada beberapa faktor kemungkinan kurang pesatnya Islam berkembang di Nias pada masa itu, antara lain:

  • Para pendatang ini memang bukan datang untuk menyebarkan agama.

  • Kemungkinan karena mereka telah menjalin hubungan yang baik dengan para penguasa setempat, mereka memilih untuk tetap memelihara hubungan baik yang telah terjalin tanpa mengintervensi adat dan kepercayaan penduduk setempat. Apalagi setelah adanya kesepakatan/ pemberian wilayah kekuasaan bagi para pendatang dengan penguasa setempat.

  • Kondisi alam yang pada waktu itu masih berupa hutan rimba sehingga membuat akses yang sulit ke pedalaman dan pegunungan dimana kebanyakan penduduk asli tinggal.

  • Masyarakat setempat yang biasa beternak babi membuat para pendatang beragama Islam sulit berasimilasi dengan penduduk asli. Hanya penduduk asli yang datang ke perkampungan ummat Islam dan berinteraksi cukup intens dengan para pendatang saja yang akhirnya masuk Islam.

  • Ternak babi bagi masyarakat Nias merupakan ternak utama untuk upacara-upacara adat, sehingga sangat wajar jika mereka sulit menerima kepercayaan baru yang mengharamkannya.
Secara kronologis masuknya Islam ke pulau Nias dapat diurutkan sebagai berikut:
  • Tahun 858 M. seorang Persia bernama Sulaiman pernah menyinggahi pulau Nias yang dinamakannya denga Pulau Nian. Hal ini telah disebutkan oleh E. Fries dalam bukunya Amoeata Hoelo Nono Niha hal 53. Sayangnya tidak ada penjelasan lebih lanjut mengenai hal ini.

  • Tahun 1624 M. Nias masuk menjadi wilayah kekuasaan Kesultanan Aceh pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda (berkuasa dari tahun 1607 s/d 1635).

  • Pada tahun 1642(?)/1080 H. orang Aceh di bawah pimpinan Teuku Polem dari Meulaboh tiba di Nias, yang kemudian menetap di kampung Hele Duna Siwulu (sekitar Desa Mudik sekarang).

    Keterangan ini diperkuat dalam buku Encyclopedia Van Nederndsch Cost Indie III cetakan kedua, keluarang Martinus Nijhoffe Gravenhage tahun 1915 dalan halaman kedua memuat keterangan seorang Belanda bernama Davidson tentang apa yang dilihatnya sewaktu dia pada tahun 1665 mengelilingi pulau Nias, bahwa orang Melayu terutama Aceh bergaul dengan suku-suku Nias dan bahwa agama yang dibawanya Islam. Islam berpengaruh atas lembaga kebudayaan kerohanian asli orang Nias.

  • Pada tahun 1111 H. atau sekitar tahun 1690 M. seorang Minangkabau bernama Datuk Raja Ahmad suku Chaniago asal negeri Priangan Padang Panjang telah sampai di Nias, sekitar Teluk Baliku kira-kira 12 Km utara kota Gunungsitoli dan tinggal menetap di Kampung Dalam (sekitar perbatasan Desa Mudik dan Kelurah Ilir sekarang).

  • Sekitar tahun 1215 H atau 1794 M dibawah pimpinan Haji Daeng Hafiz (orang Bugis) tinggal dan menetap di Gunungsitoli.

  • Sekitar tahun 1810 M. orang Arab di bawah pimpinan Said Abdullah dari Kotaraja Banda Aceh sampai dan menetap di Gunungsitoli.

  • Sekitar tahun 1863 M. orang India dibawah pimpinan Mustan Sahib tiba dari Meulaboh dan menetap di Gunungsitoli, setelah sebelumnya tinggal di Singkil.
Sumber tulisan:
Drs. Suady Husin: Suatu Tinjauan Tentang Ada Perkawinan dan Warisan Pada Masyarakat Islam di Nias Pesisir, Fakultas Ilmu Sosial IKIP Medan Tahun 1976.

Nias Sebelum Datangnya Agama

Kepercayaan asli orang Nias sebelum masuknya agama adalah kepercayaan animisme dan dinamisme, serta kepercayaan terhadap adanya dewa besar yang merajai dewa-dewa yang lain.

Menurut kepercayaan di Nias pada masa itu, seseorang yang meninggal rohnya tetap hidup dan bertempat tinggal dimana-mana. Roh tersebut dapat mendatangkan sakit kepada manusia. Untuk menjauhkan diri dari hal itu, seorang dukun (Ere) melepas seekor ayam putih yang masih hidup di bawah pohon, pecahan periuk diletakkan dibawahnya agar roh yang ada di pohon (saho, bela) menjauhkan mereka dari mala petaka.

Pada masa dulu ada juga kebiasaan yang terdapat pada sebagian masyarakat Nias yaitu memenggal kepala orang. Memotong kepala orang dalam kepercayaan di Nias mempunyai dua pengertian:

  • Pengertian dinamisme; pemenggalan dilakukan untuk menambah kekuatan gaib bagi orang yang melakukannya, kepala yang di potong ini digantungkan pada dinding di samping bagian tirisan atap rumahnya.

  • Pengertian animisme; kepala yang dipenggal diletakkan di samping kuburan seorang Tuhenori, Salawa atau Balugu sebagai pendampingnya di dunia arwah.
Mereka juga menyembah berhala yang disebut ADU yang terbuat dari kayu. Yang paling ditakuti dan dihormati adalah arwah nenek moyang. Apabila seorang orang tua meninggal setelah berselang beberapa lama, si anak membuat tiruannya berupa patung dari kayuPatung tersebut disimpan di rumah. Patung tersebut disebut Adu Zatua yang dipercaya bisa mendatangkan bala, oleh karenanya sangat ditakuti dan dipuja.

Adapun setelah agama Kristen masuk istilah Lowalangi diartikan sebagai Tuhan. Istilah ini sebenarnya sudah ada sebelum agama masuk. Lowalangi sebenarnya nama salah seorang dewa dalam kepercayaan orang Nias pada masa lalu. Dewa ini tidak merusak atau merugikan, tapi hanya mengawasi dan juga membantu manusia. Oleh karena itu dewa Lowalangi ini tidak begitu ditakuti.

Sumber tulisan:
Drs. Suady Husin: Suatu Tinjauan Tentang Ada Perkawinan dan Warisan Pada Masyarakat Islam di Nias Pesisir, Fakultaks Ilmu Sosial IKIP Medan Tahun 1976.

Assalamu'alaikum, Ya'ahowu, Selamat Datang, Wellcome...

Assalamu'alaikum, Ya'ahowu, Selamat Datang, Wellcome...

Muslim Nias adalah bagian tak terpisahkan dari masyarakat Pulau Nias. Walaupun saat ini Islam di Pulau Nias penganutnya hanya sekitar 4 persen, tetapi sebagai agama yang telah masuk ke Nias sejak abad ke XVI tentu sedikit banyaknya telah memberi pengaruh tersendiri dalam kehidupan masyarakat Nias.

Masyarakat muslim Nias itu sendiri punya keunikan tersendiri, yang adat istiadatnya tidak lepas dari pengaruh budaya asli Nias, walaupun pengaruh budaya Melayu: Aceh dan Minang terasa masih kental.

Sejarah dan tradisi Muslim Nias memang menarik untuk disimak dan penting untuk diketahui, khususnya bagi generasi sekarang dan mendatang.
Melalui WebBlog ini diharapkan dapat menjadi alternatif media informasi dan komunikasi yang mengupas tentang tentang hal-hal tersebut.
Semoga bermanfaat. Wassalam.(YPMN)

Kami menantikan kontribusi anda berupa tulisan/ artikel yang berkaitan atau relevan dengan tujuan blog ini. Silahkan mengirimkannya ke muslim_nias[at]yahoo[dot]com.

Jika menyadur dari sumber lain, harap mencantumkan sumber tulisan, nama penulisnya serta link web sitenya.
YPMN berhak untuk tidak menyajikan tulisan atau komentar yang dianggap tidak relevan dengan tujuan Blog ini.

Isi dan materi tulisan sepenuhnya tanggung jawab para penulisnya.

Google